Malaman 7 likokh, Budaya Tua Etnis Sekala Brak-lampung
*MALAMAN PITU LIKUKH*
oleh : Raja Duta Perbangsa
Tradisi malaman pitu likukh di bumi Sekala Brak dari tinjauan historis :
*Zaman Sekala Brak Kuno*
Pada masa kekuasaan Ratu Sekekhummong, setiap "bulan bakha pak belas di bulan HALI (purnama ke 14 pada bulan 11) dilakukan upacara persembahan kepada sang Dewa yang dikenal dengan upacara "Ikhau" upacara tersebut dipimpin langsung oleh sang Ratu Agung yang dikenal sakti mandra guna.
Untuk pelaksanaan upacara Ikhau, Ratu Sekekhummong menitahkan agar seluruh negeri Sekala Brak dibuat terang benderang, sehingga untuk menghadapi upacara "ikhau" seluruh penduduk negeri dari jauh-jauh hari telah mengumpulkan batok kelapa sebanyak-banyaknya seakan berlomba untuk menyuguhkan yang terbaik pada malam tersebut.
Tiba bulan purnama seluruh negeri terang benderang, dari atas disirami cahaya bulan nan indah sementara dibawah pada setiap rumah penduduk terdapat penerangan dari tiga, empat bahkan ada yang sampai tujuh titik batok kelapa yang disusun setinggi 1 sd 2 m diperhitungkan baru padam menjelang terbitnya sang fajar, malam itu begitu indah dan meriah ada tabuh-tabuhan, tarian dan rapal mantra pujian kepada Dewa, disisi lain malam itu juga mencekam karena pada malam itu seorang gadis suci nan jelita pilihan para pembesar negeri akan dikurbankan sebagai persembahan kepada Dewa, sekiranya persembahan tersebut diterima mereka meyakini bahwa pada malam satu TEMU (malam pertama bulan dua belas) para Dewa akan menurunkan tujuh Bidadari, karena itulah pada malam satu TEMU di negeri Sekala Brak kembali dilakukan Benderang Negeri dengan membakar batok kelapa namun dengan suasana yang hening untuk menyambut turunnya tujuh bidadari.
*Zaman Paksi Pak Sekala Brak/Islam* Seiring dengan masuknya Islam di bumi Sekala Brak, Sekala Brak kuno mengalami keruntuhan dan berdirilah Paksi Pak Sekala Brak dengan keyakinan yang baru yaitu Islam, upacara ini tetap terwariskan namun sudah bernuansa islami dengan sebutan baru *Malaman Pitu Likukh* Dibawah Pimpinan Empat Umpu yang diangkat menjadi SaiBatin (Pemimpin tertinggi di masing-masing Kepaksian) dilakukan juga benderang negeri dengan membakar batok kelapa pada setiap malam 27 Ramadlon, menyambut turunnya para malaikat kebumi yang menandai malam Lailatul Qadar. SaiBatin berkumpul dengan para penduduk negeri untuk melakukan puja puji keharibaan Allah SWT, bermunajad bagi keselamatan dan kesejahteraan didunia dan akhirat, Pada malam menjelang 1 Syawal, yang disebut "malaman buka dibi" kembali dilakukan benderang negeri dan seluruh penduduk negeri dihimbau berkumpul dimasjid dan surau-surau untuk melantunkan takbir, tahmid dan dzikir. Pada malam itu SaiBatin menitahkan agar seluruh penduduk negeri melakukan mandi diwaktu subuh, bukan untuk menyambut kehadiran tujuh bidadari tapi mandi sunat untuk melakukan shalat 'id. *disarikan bersama-sama dg RMB dari berbagai Wawakhahan*
Versi Novan Saliwa: Malaman Pitu Likukh ( malam 27 Ramadhan ) merupakan tradisi masyarakat Lampung khususnya Masyarakat Sekala Brak di Lampung Barat, tradisi Ini dentik degan etnis melayu diantaranya Banjarmasin, Riau, Jambi, dan Bengkulu dan juga Lampung. Ada yang memaknai Tujuh Likur sebagai simbol syukur karena Allah SWT atas anugerah yang diturunkan pada 10 malam terakhir Allah SWT menjanjikan pahala yang berlimpah dengan malam Lailatul Qodar.
Bagi Masyarakat Sekala Brak Lampung Barat tradisi memasang tempurung kelapa yang disusun meninggi didepan rumah masing-masing dimaknai sebagai penghormatan pada arwah leluhur yang konon menurut kepercayaan, menjelang Idul Fitri para arwah akan bertandang pulang dan obor atau malaman yang digunakan didepan rumah tersebut sebagai sumber cahaya menerangi setiap sudut kampung sehingga dapat memberikan jalan terang kepada leluhur yang pulang.
Batok bersusun tersebut pada malam seusai berbuka puasa akan dinyalakan seiring dengan dilantunkan doa-doa yang dipanjatkan untuk mengirim arwah leluhur mereka. Tidak hanya batok kelapa yang digunakan, obor juga ikut meramaikan malam Pitu Likur di daerah ini sehingga terlihat jalur lintas barat yang berada di permukiman warga terang dengan cahaya bakaran tempurung kelapa dan obor tersebut. Terlepas dari pemaknaan dari tradisi malaman pitu likukh diatas, kita berharap cahaya malaman itu dapat meyinari hati kita, sebagai pencerah batin kita menyongsong cahaya Matahari dipagi Hari Idul Fitri. (Wallohualam)
Tiba bulan purnama seluruh negeri terang benderang, dari atas disirami cahaya bulan nan indah sementara dibawah pada setiap rumah penduduk terdapat penerangan dari tiga, empat bahkan ada yang sampai tujuh titik batok kelapa yang disusun setinggi 1 sd 2 m diperhitungkan baru padam menjelang terbitnya sang fajar, malam itu begitu indah dan meriah ada tabuh-tabuhan, tarian dan rapal mantra pujian kepada Dewa, disisi lain malam itu juga mencekam karena pada malam itu seorang gadis suci nan jelita pilihan para pembesar negeri akan dikurbankan sebagai persembahan kepada Dewa, sekiranya persembahan tersebut diterima mereka meyakini bahwa pada malam satu TEMU (malam pertama bulan dua belas) para Dewa akan menurunkan tujuh Bidadari, karena itulah pada malam satu TEMU di negeri Sekala Brak kembali dilakukan Benderang Negeri dengan membakar batok kelapa namun dengan suasana yang hening untuk menyambut turunnya tujuh bidadari.
*Zaman Paksi Pak Sekala Brak/Islam* Seiring dengan masuknya Islam di bumi Sekala Brak, Sekala Brak kuno mengalami keruntuhan dan berdirilah Paksi Pak Sekala Brak dengan keyakinan yang baru yaitu Islam, upacara ini tetap terwariskan namun sudah bernuansa islami dengan sebutan baru *Malaman Pitu Likukh* Dibawah Pimpinan Empat Umpu yang diangkat menjadi SaiBatin (Pemimpin tertinggi di masing-masing Kepaksian) dilakukan juga benderang negeri dengan membakar batok kelapa pada setiap malam 27 Ramadlon, menyambut turunnya para malaikat kebumi yang menandai malam Lailatul Qadar. SaiBatin berkumpul dengan para penduduk negeri untuk melakukan puja puji keharibaan Allah SWT, bermunajad bagi keselamatan dan kesejahteraan didunia dan akhirat, Pada malam menjelang 1 Syawal, yang disebut "malaman buka dibi" kembali dilakukan benderang negeri dan seluruh penduduk negeri dihimbau berkumpul dimasjid dan surau-surau untuk melantunkan takbir, tahmid dan dzikir. Pada malam itu SaiBatin menitahkan agar seluruh penduduk negeri melakukan mandi diwaktu subuh, bukan untuk menyambut kehadiran tujuh bidadari tapi mandi sunat untuk melakukan shalat 'id. *disarikan bersama-sama dg RMB dari berbagai Wawakhahan*
Versi Novan Saliwa: Malaman Pitu Likukh ( malam 27 Ramadhan ) merupakan tradisi masyarakat Lampung khususnya Masyarakat Sekala Brak di Lampung Barat, tradisi Ini dentik degan etnis melayu diantaranya Banjarmasin, Riau, Jambi, dan Bengkulu dan juga Lampung. Ada yang memaknai Tujuh Likur sebagai simbol syukur karena Allah SWT atas anugerah yang diturunkan pada 10 malam terakhir Allah SWT menjanjikan pahala yang berlimpah dengan malam Lailatul Qodar.
Bagi Masyarakat Sekala Brak Lampung Barat tradisi memasang tempurung kelapa yang disusun meninggi didepan rumah masing-masing dimaknai sebagai penghormatan pada arwah leluhur yang konon menurut kepercayaan, menjelang Idul Fitri para arwah akan bertandang pulang dan obor atau malaman yang digunakan didepan rumah tersebut sebagai sumber cahaya menerangi setiap sudut kampung sehingga dapat memberikan jalan terang kepada leluhur yang pulang.
Batok bersusun tersebut pada malam seusai berbuka puasa akan dinyalakan seiring dengan dilantunkan doa-doa yang dipanjatkan untuk mengirim arwah leluhur mereka. Tidak hanya batok kelapa yang digunakan, obor juga ikut meramaikan malam Pitu Likur di daerah ini sehingga terlihat jalur lintas barat yang berada di permukiman warga terang dengan cahaya bakaran tempurung kelapa dan obor tersebut. Terlepas dari pemaknaan dari tradisi malaman pitu likukh diatas, kita berharap cahaya malaman itu dapat meyinari hati kita, sebagai pencerah batin kita menyongsong cahaya Matahari dipagi Hari Idul Fitri. (Wallohualam)
Post a Comment